Kamis, 24 Februari 2011

.

KEHEBATAN Adipati Jayeng Rono dalam kisah masa lalu Surabaya, juga sering dikaitkan dengan “tokoh legendaris” Surabaya lainnya, di antaranya: Sawunggaling. Berbagai versi tentang keberadaan dan ketokohan Sawunggaling ini.
Dari cerita tutur mulut ke mulut dan turun terumurun yang kemudian menjadi dongeng, serta disajikan dalam “Babad Surabaya”. Ada dua versi tentang Sawunggaling yang diperoleh penulis. Versi masyarakat Wiyung dan versi warga Lidah Kulon.
Versi Wiyung
Masyarakat daerah Wiyung sangat meyakini, bahwa Sawunggaling adalah putera asli daerah itu. Dikisahkan, nama Sawunggaling itu berasal dari dua kata, “Sawang” dan “Galing”. Sawang artinya lihat dan Galing berasal dari kata “aling” atau terhalang. Jadi artinya: penglihatan yang terhalang.
Ceritanya begini: Adipati Jayeng Rono yang hidup bahagia dengan anak isterinya di kepatihan, sebagai kepala pemerintahan ia sering melakukan perjalanan kelililing. Sama dengan pejabat zaman sekarang, di hari-hari tertentu dimanfaatkan untuk santai dan menyalurkan hobi. Zaman dulu belum ada golf maupun tenis. Nah, hobi dan kegemaran Adipati Jayeng Rono adalah pergi berburu ke hutan. Salah satu hutan, tempat sang adipati berburu adalah hutan Wiyung di sebelah barat Surabaya. Sekarang Wiyung sudah menjadi salah satu kecamatan di Kota Surabaya.
Ternyata saat pergi berburu itu, setiap akan memasuki hutan mata sang adipati selalu “singgah” di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal keluarga yang mempunyai seorang gadis cantik. Lama kelamaan perburuan sang adipati, tidak lagi tertuju kepada binatang-binatang dalam hutan. Tetapi, justru kemudian menancapkan panah asmaranya kepada si gadis cantik dari Wiyung itu. Dalam kisah ini, nama sang gadis dianggap tidak penting. Yang jelas, gadis ini merupakan kembang desa dan primadona di kampung pinggir hutan itu.
Dari kunjungan tidak rutin itu terjadilah hubungan rahasia antara sang adipati dengan gadis Wiyung ini. Hanya para pengawal dan mungkin sebagian warga desa yang mengetahui permainan asmara ke dua insan ini. Si ayah dari putri desa inipun tidak menghalangi, anaknya dipacari orang kaya. Dan mungkin pada mulanya si ayahpun tidak tahu, kalau pria itu adalah Adipati Jayeng Rono.
Perselingkuhan sang pejabat ini memang sangat rahasia, sehingga sama sekali tidak bocor di keraton. Keintiman sang adipati dengan gadis Wiyung itu akhirnya  mendapat restu ayah si gadis. Jadilah gadis desa itu “isteri simpanan” sang adipati. Dari perkawinan itu lahir seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Sawunggaling.
Demi menjaga keutuhan keluarga keraton, Adipati Jayeng Rono melarang Sawunggaling dan keluarganya ke wilayah keraton. Nasihat sang ayah ini benar-benar dipatuhi Sawunggaling, maupun ibunya. Sawunggaling tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Salah satu kegemaran Sawunggaling adalah memelihara ayam jago dan sering mengikuti adu ayam di kampungnya.
Pemerintahan Adipati Jayeng Rono terus mengalami kemajuan. Suatu hari untuk menetapkan seorang Temenggung, adipati kesulitan. Adipati Jayeng Rono yang juga punya hobi sabung ayam menyelenggarakan pertandingan sabung ayam terbuka. Hadiahnya, kepada pemilik ayam jago yang menang dan dapat mengalahkan ayam jago sang adipati, akan dinobatkan sebagai Temenggung.
Sawunggaling yang mendengar ada pertandingan sabung ayam itu, minta izin kepada ibunya untuk ikut pertandingan sabung ayam di alun-alun keraton Surabaya. Ternyata dalam pertarungan itu, ayam jago Sawunggaling berhasil mengalahkan ayam jago Jayeng Rono. Sesuai dengan janji sang adipati, maka kemudian dinobatkanlah Sawunggaling menjadi Temenggung di keraton Surabaya.
Setelah dinobatkan menjadi Temenggung, Sawunggaling bersama ibunya tinggal di ketemanggungan, tidak jauh dari keraton adipati. Namun, bagaimana kemudian peran temenggung dalam pemerintahan Adipati Jayeng Rono tidak jelas. Bahkan, bagaimana kehidupan dan kelanjutan kisah Sawunggaling, tidak jelas juga.
Versi Lidah Wetan
Kisah Sawunggaling di desa Lidah Wetan, lain lagi. Keberadaan Sawunggaling dibuktikan dengan adanya komplek makam yang disebut Makam Keluarga Sawunggaling. Letaknya di desa Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya Barat.
Makam keluarga Sawunggaling di Lidah Wetan itu hingga sekarang terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat empat makam lainnya.
Pertama: makam ibunya Raden Ayu Dewi Sangkrah. Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh. Ketiga: makam kakeknya bernama Raden Karyosentono. Yang keempat: makam Raden Ayu Pandansari.
Kisah tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai  hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.
Ada pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun sebagian kisah meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai wafat.

Sahibulhikayat, ketika seorang puteri keraton Jogjakarta bernama Raden Ayu Dewi Sangkrah datang ke Surabaya, ia tersesat ke desa Lidah. Di desa itu, ia ditampung oleh mbah Buyut Suruh yang tinggal bersama suaminya Raden Karyosentono. Dewi Sangkrah yang cantik itu diangkat sebagai anaknya sendiri.
Konon suatu hari, dalam perjalanan dinasnya, Adipati Jayeng Rono tertegun saat berada di Desa Lidah. Sang Adipati tidak menyangka di desa itu ada gadis cantik berdarah “biru”.  Setelah beberapa kali melakukan lawatan ke desa di pinggiran Surabaya itu, Adipati Jayeng Rono selalu menyempatkan singgah di rumah keluarga mbah Buyut Suruh dan Raden Karyosentono. Tujuannya tidak lain yaitu “mengapeli” anak angkat keluarga ini yang bernama Raden Ayu Dewi Sangkrah.
Gelora asmara benar-benar sudah tidak terbendung lagi. Tanpa banyak pertimbangan, pada suatu hari  sang adipati melamar Raden Ayu Dewi Sangkrah menjadi isterinya melalui Raden Karyosentono. Dari perkawinan “rahasia” tanpa sepengetahuan keraton itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Sawunggaling.
Kepada Dewi Sangkrah, Adipapati Jayeng Rono berpesan agar menjaga dan mengasuh anaknya sampai dewasa. Demi menjaga kerukunan keluarga keraton, Dewi Sangkrah bersama keluarganya tetap tinggal di desa. Pesan lainnya, kalau nanti Sawunggaling sudah dewasa, beritahu bahwa ayahnya adalah Jayeng Rono dan menemuinya di keraton Surabaya. Sebagai tanda, Jayeng Rono meninggalkan sehelai selendang yang disebut “cinde” kepada Dewi Sangkrah. Dengan bukti selendang atau “cinde” itu nantinya Sawunggaling menemui ayahnya di keraton.
Ketika sawungggaling memasuki usia remaja, Dewi sangkrah memberitahu anaknya, bahwa ia adalah anak Raden Adipati Jayeng Rono. Sesuai pesan ayahnya, apabila kelak sudah dewasa, agar menemui ayahnya di keraton Surabaya. Namun untuk menuju keraton tidak mudah, sebab waktu itu wilayah sekitar Lidah masih hutan belantara. Ada ungkapan di kala itu: “jalmo moro, jalmo mati”, artinya: siapa yang berani masuk hutan, akan menemui ajal atau mati.
Dengan tekad yang bulat, Sawunggaling ditemani kakek angkatnya Raden Karyosentono berangkat menuju keraton melintasi hutan belantara. Waktu itu, daerah Lidah, Wiyung, Lakarsantri dan Tandes masih merupakan hutan lebat. Nah, saat memasuki hutan itu banyak gangguan. Di samping gangguan para punggawa, juga gangguan makhluk halus.
Bahkan, upaya untuk menggagalkan rencana Sawunggaling menemui ayah kandungnya di keraton Surabaya, juga dilakukan oleh dua adik tirinya, Sawungrono dan Sawungsari. Konon, saat Sawunggaling masih anak-anak dan  tidak pernah lagi didatangi Adipati Jayeng Rono, maka Dewi Sangkrah kawin dengan laki-laki lain dan melahirkan dua anak, bernama Sawungrono dan Sawungsari
Akhirnya berkat kesungguhan Sawunggaling bersama Raden Karyosentono, mereka berhasil menerobos hutan dan sampai di keraton Surabaya. Konon pula, di sini ikut berperan Raden Ayu Pandansari, puteri cantik yang dipercaya sebagai keturunan lelembut. Anak raja jin penguasa hutan Wiyung.
Di keraton Surabaya yang lokasinya diperkirakan di Balai Budaya Cak Durasim sekarang di Jalan Gentengkali itu, Sawunggaling bersama Raden Karyosentono diterima Raden Adipati Jayeng Rono. Sawunggaling memperkenalkan diri dengan panggilan sehari-harinya, yakni: Joko Berek. Namun setelah Joko Berek memperlihatkan selendang “wasiat” titipan ibunya, Adipati Jayeng Rono sertamerta merangkul Joko Berek yang tiada lain adalah anak kandungnya sendiri.
Sejak saat itu, Sawunggaling diberi tugas menjadi pendamping adipati sebagai Temenggung dengan gelar Raden  Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.
Nah, mana di antara dongeng dan kisah Sawunggaling itu yang “sahih”, tidak ada yang berani memberi kepastian. Sebab, semua itu didasari pada konon dan konon.

surabaya tempo dulu

Oleh-oleh berupa makanan dan kerajinan khas suatu daerah mungkin sudah biasa diberikan kepada seseorang. Bagaimana jika oleh-oleh itu berupa buku tentang suatu daerah pada masa lalu? Inilah yang dilakukan penulis Dukut Imam Widodo. Ia merilis buku yang bisa dijadikan sovenir bagi wisman yang datang ke Surabaya untuk dibawa pulang ke negara mereka.

Buku tersebut berjudul Soerabaia In The Olden Days setebal 305 halaman yang berisi sejarah dan cerita tentang Surabaya dalam bahasa Inggris. Di dalamnya dipaparkan seluk beluk berbagai lokasi dan kisah di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi di Surabaya pada masa lampau. Buku ini dilengkapi foto-foto dan dokumentasi yang langka.

“Buku ini adalah wujud dari keinginan untuk memberikan segala macam tentang Surabaya pada masa lalu,” ujar Dukut pada peluncuran bukunya di House of Sampoerna.

Ia menjelaskan, buku tersebut adalah versi bahasa Inggris dari bukunya yang berjudul Soerabaia Tempo Doeloe. Buku ini sering menjadi suvenir yang dibawa pulang wisman. Namun Dukut mendapat protes dari teman-temannya di luar negeri karena mereka tak mengerti Bahasa Indonesia sehingga hanya bisa melihat gambar-gambarnya. Maka dibuatkan versi Bahasa Inggrisnya.

“Mudah-mudahan buku ini bisa menjadi panduan bagi orang asing yang datang ke Surabaya,” kata Dukut.

Buku tersebut diterjemahkan oleh Luli Aulis Husen, rekan Dukut. Menurut Dukut, ia memilih Luli untuk menerjemahkan bukunya ke dalam Bahasa Inggris karena paham bahasa gaya Suroboyoan.

Luli mengatakan butuh waktu 3-4 bulan untuk menerjemahkannya. Ia mengaku tidak terlalu sulit menerjemahkan buku tersebut. Ini karena hampir 10 tahun ia bergaul dengan tulisan Dukut. Namun ia sempat kebingungan ketika harus menggunakan istilah yang pas tanpa menghilangkan nuansa khas Suroboyoan. Ia harus pintar-pintar memilih kata untuk menerjemahkan ungkapan dan guyonan khas Suroboyoan